
Kadang kala sesuatu itu ada tanpa perlu suatu alasan. Seperti yang saat ini aku alami. Iya benar sangat dramatis kurasa.
Meski kakek Shakespeare bilang, apalah arti sebuah nama. Namun jujur aku tersiksa dengan namaku.
Namaku Rembulan, anak seorang pedagang trambulan. Trambulan adalah sejenis jajanan yang berisi kacang sangrai ditambah misses atau bahkan keju untuk menambah cita rasa yang bisa ditambahkan sesuai permintaan pelanggan. Di daerah lain biasa disebut terang bulan atau martabak manis.
Ach…jadi membahas makanan. Justru disinilah masalahku berawal. Segala derita bully sering kuterima. Bahkan aku sering protes pada ayahku yang memberiku nama ini. Meski indah dan enak didengar namun tidak bagiku.
Aku mungkin saja lebih cocok memiliki nama Siti, Maemunah, atau bahkan markonah seperti kawan-kawanku.
Rembulan nama yang indah, namun tak seindah pemilik nama dengan bentuk tubuh gemuk, kulit hitam, dan rambut keriting.
Belum lagi kisah dibalik pemberian nama ini begitu mengharukan.
Saat Ibu akan melahirkan aku dan harus dilarikan ke rumah sakit dikota sedangkan kami tinggal dipelosok desa. Karena sopir tidak ada, terpaksa seorang perawat yg bernama Bulan pegang kemudi. Meskipun belum ahli benar. Terpaksa kata mereka.
Berkali-kali ditengah jalan Bu Bidan berteriak, “Rem, Bulan. Rem!!”
Jadilah namaku Rembulan, untuk mengenang jasa petugas kesehatan yang menolongku, juga untuk mengenang kejadian saat itu.
