
Aku jadi teringat perjalanan dua tahun sebelumnya. Washington, November 2016. The Capitol menjulang angkuh. Entah kenapa saat ini aku malas untuk mengunjungi ataupun sekedar melihat-lihat kantor kongres Amerika atau lebih lengkapnya U.S Capitol, gedung yang bangunan atasnya menyerupai kuba masjid di daerahku. Namun tidak menggerakkan keinginantahuanku sedikitpun . Meski kagum melihat bangunan luarnya tapi tidak ada keinginan untuk menjelajahnya, entahlah.
Sesaat setelah memasuki gedung segera mendaftar untuk mendapatkan tour guide yang benar-benar nampak professional di depanku, namun semua ini tetap tak membuatku tertarik sedikitpun. Entahlah aku yang biasanya penasaran akan segalanya hari ini sepertinya buntu. Bahkan gedung ini telah membuatku penasaran sejak membaca buku tentang parlemen Unite State saat dibangku SMP.
Padahal kunjungan ke Capitol sudah terencana sebelumnya, jadi aku memaksakan berangkat hari ini, karena besok di hari minggu Capitol tutup. Sementara hari Senin tugasku sudah terjadwal. Tak kupedulikan suhu udara yang mencapai 13,3 derajat Celcius, juga jet lag yang masih membekas.
Tiba-tiba lapar diperutku semakin menjadi. Padahal sebelum berangkat tadi sudah sarapan menu yang disiapkan hotel tempatku menginap. Menu hot sandwiches ditambah yogurt tidaklah cukup bagiku yang terbiasa sarapan dengan nasi pecel ataupun tiwul bikinan si mbok yang lezat. Rupanya hawa dingin ini mampu melayangkan kangenku akan tiwul yang beruap karena disajikan hangat.
Untunglah didalam gedung juga tersedia restoran yang akan memuaskan wisata kuliner para wisatawan. Tidak jauh dari toko Gift Shops untuk membeli beberapa souvenir. Pengunjung tentu akan sangat puas bukan hanya karena mendapat wawasan lebih banyak, melainkan juga mendapatkan pemandangan yang luar biasa khusus saat berada di dalam dengan interior rapi dan cantik. Namun tidak bagiku. Kupandangi menu yang ditawarkan, beberapa tidak asing.
Tanpa kusadari dari arah belakang seorang wanita berhidung mancung dan berambut blonde menyapaku dengan akrab.
“ Welcome to the Capitol.” Sapanya hangat dibarengi senyum, nampak lesung pipinya. Jujur aku bingung uluran tangannya membuatku ragu. Akankah kusambut yang artinya aku melupakan nasihat ibu atau kuabaikan saja yang mungkin saja akan membuatnya kecewa.
Aku adalah Ahmad Arsy, pemuda yang berasal dari pelosok desa didaerah Jawa, karena nasib saja aku akhirnya bisa mengunjungi The Capitol House. Beasiswa untuk mahasiswa sepertiku yang akhirnya bisa membawaku kesini.
#Belajar menulis Fiksi
0